Saturday, 8 August 2015

Saya kemudian tersadar, bahwa semua orang mementingkan dirinya sendiri. Tidak peduli apapun. Entah sistem ini dibangun berdasarkan apa. Ternyata kebobrokannya mulai terlihat. Entah berapa lama bertahan seperti ini. Mereka yang punya kuasa tidak terpengaruh oleh peraturan. Sedangkan rakyat jelata hanya bisa trimo. Tidak bisa iri dengan imunitas itu, satu-satunya sikap adalah trimo. Orang salah tidak mau ditegur. Mereka yang patologis imun terhadap tugas. Sedangkan yang fisiologis jadi korban tumpukan tugas. Kami lebih baik daripada mereka yang lain? No, not really.

Tuesday, 27 January 2015

We love you always

Dunia terasa runtuh ketika kami mendengar berita kepergian kakak kami. Rasanya tidak percaya, dia terlalu muda untuk pergi, usianya baru menginjak 41 tahun. Ternyata tidak ada kata terlalu muda untuk dipanggil Nya. Dia pergi ketika rasanya kehidupan keluarga kami terasa sempurna tanpa cela. Mas Imi sudah lulus PPDS, dan sudah cukup mapan. Mas Mamat sudah mulai berjalan dengan usahanya. Bapak sudah tidak terlalu banyak beban. Rasanya bisa digambarkan ketika mendengar berita itu. Tidak percaya, dan tidak tahu lagi harus berbuat apa. Seingat saya bukan seperti ini rasanya ketika kami mendengar berita simbah dipanggilNya di usia 96 tahun. Waktu itu rasanya sedih, tapi juga bukan seperti ini. Rasanya tidak bisa lagi berpikir atau apa. Ternyata semua orang pantas dipanggilNya kapan pun.

Sampai sekarang saya cari-cari fotonya di saat-saat terakhir. Rasanya wajahnya masih sangat sehat. Dia tidak sakit. Ya, dia tidak sakit kata saya. Sungguh saya tidak percaya. Ternyata Alloh SWT menyayanginya lebih dari kami menyayanginya. Alhamdulillah dia pergi dalam keadaan yang sangat baik. Dia pergi di hari Jum'at, dia sudah pergi shalat Jumat hari itu. Tahun sebelumnya dia pergi umroh. Dan setelah itu, saya melihat kehidupan religinya semakin baik. Semoga mmg begitu. Ya Alloh, ampunilah dosa-dosanya, dan semoga Engkau memberi tempat yang terbaik di sisiMu.

Thursday, 15 January 2015

Relativity

Waktu saya semester 0, saya lihat senior saya yang semester 3 sudah begitu senior. Sekarang begitu saya di tempat itu, bahkan lebih tinggi, saya tidak pernah merasakan bahwa saya sudah di posisi itu. Walaupun saya sekarang semester 4, saya tetap saja junior. Perkataan saya tidak ada artinya, bukan seperti fatwa-fatwa mereka yang beberapa semester di atas saya.

Dan hal ini sudah beberapa kali terjadi sejak saya semester 0. Entah mungkin memang ada tujuan khusus yang saya belum tahu, acara piknik menurut hemat saya merupakan acara yang diwajibkan utk tujuan mempererat persaudaraan, kurang lebih demikian. Tp bbrp kali saya mengusulkan agar acara piknik itu berupa family gathering, supaya tidak menzalimi anak dan suami kami yang punya hak di hari libur kami, tetapi tidak pernah disetujui. Saya tidak tau mengapa. Saat ini ketika ada acara demikian, saya juga tidak ingin ikut, suasana rumah sedang berduka dan lebih memilih untuk meluangkan hari libur untuk Aslam dan ayahnya, masih saja dianggap sebagai alasan yang tidak bisa diterima. Maaf ya Aslam, ibu sampai naik semester pun masih selalu jadi junior, tidak punya hak veto seperti senior ibu.

Sunday, 11 January 2015

An insight

Apakah saya terlalu banyak dosa? Rasanya pikiran itu terngiang di kepala saya. Urusan yang awalnya saya pikir dimudahkan untuk saya, yang merasa terzalimi dalam beberapa hal, pada akhirnya terasa sama sekali tidak dimudahkan, penuh dengan hambatan, dan rasanya selalu ada saja hambatan. Hambatan itu bukan suatu kesengajaan orang atau karena kesalahan saya, tetapi rasanya itu tangan Tuhan. Saya jadi berpikir apakah akan berlanjut dengan urusan ini atau menyerah. Saya juga jadi berpikir apakah sebenarnya bukan orang lain yang menzalimi saya, tetapi mungkinkah saya yang menzalimi orang lain. Astaghfirullah..

Saturday, 1 November 2014

Pengalaman khitan Aslam

Syukur Alhamdulillah tanggal 23 Oktober kemarin akhirnya Aslam sunat. Sudah lega sekali rasanya. Rasanya begitu berdebar-debar menunggu hari itu. Malam hari sebelum hari H rasanya tidak nyenyak tidur, terbangun tiap beberapa jam, dan jam 4 pagi sudah tidak terasa ngantuk seperti biasa. Aslam pun Alhamdulillah sangat kooperatif. Beberapa hari sebelumnya, kami sudah beritahu Aslam kalau dia mau dikhitan, dan dia bilang iya. Tadinya saya kuatir, karena saya pikir itu jawaban iya dari seorang anak yang tidak mengerti apa arti khitan. Kami bilang lagi sehari sebelum hari H. Kami bilang Aslam harus puasa dulu sebelum khitan, dan lagi-lagi ia jawab iya. Saya makin kuatir dia tidak tahu. Mengingat Aslam sangat aktif, kami kuatir dia tidak kuat menahan untuk tidak minum selama 6 jam.

Tapi malamnya, Aslam terbangun beberapa kali untuk minum, dan jam 4 pagi dia minum lagi, kami bilang, habis ini Aslam puasa sampai setelah sunat ya. Dia bilang iya. Aslam terbangun beberapa kali malam sebelum sunat untuk minum. Alhamdulillah Aslam tidak rewel. Kami sempat kuatir dia tidak kooperatif saat diinfus. Syukur Alhamdulillah dia sangat kooperatif sampai masuk ruang operasi. Aslam agak rewel ketika tersadar dari anestesi, mungkin masih setengah sadar. Minta pipis ke kamar mandi, tapi akhirnya tidak keluar, dan setelah itu tertidur lagi. Aslam terbangun ketika akan dipindah ke bangsal, dan sudah tidak rewel lagi. Dia tenang sekali, excited saat naik lift, excited dengan gelang pasien yg dipakai, excited dg infus. Sampe kamar kebetulan acara tv upin ipin, alhasil dia anteng. Langsung makan banyak. Hanya rewel saat akan pipis.

Alhamdulillah, rasanya sudah lega sekali. Aslam begitu kooperatif. Rasa trauma yang dikhawatirkan sebelumnya tidak ada. Bahkan dia excited sekali dengan pengalaman baru diinfus, jadi pasien, dipasang gelang pasien, sampai pengalaman naik lift. Bahkan dia mengingat nama perawat igd yang memasangkan gelang.

Mungkin memang begitu dunia anak2, menarik, apa yang menakutkan tidak diingat atau jadi hal yang traumatis, tapi yang diingat adalah pengalaman2 baru yang menarik untuknya. Alhamdulillah, sungguh syukur kami padaMu. Terimakasih Engkau mudahkan semuanya.

Saturday, 6 September 2014

Jangan salahkan anak karena idelialisme yang hilang

Janganlah menyalahkan anak yang menyebabkan idelialisme hilang. Anak bukanlah alasan kita kehilangan idealisme saat sebelum punya anak. Bukan mengorbankan anak, tetapi bukan pula kehilangan idealisme kita. Saya ingat sekali bagaimana saya rela belajar semalaman di sela-sela anak tidur pada saat saya ujian ppds. Saat itu saya ingat Aslam sedang sakit. Kalau Aslam bangun, saya gendong dia dulu. Kalau dia tidur, saya sempatkan membaca. Di sela-sela menemani Aslam bermain pun, saya sempatkan untuk membaca sambil mengawasi. Sekarang, saya membuat tugas saat saya berada di rumah sakit, atau saat setelah Aslam tidur. Bukan pula tidak mengorbankan anak. Anak kita juga berkorban untuk kita. Maka hargailah pengorbanan anak dengan melakukan yang terbaik. Saya selalu percaya jika ada kemauan, pasti ada jalan. Demi kebaikan, lakukanlah kebaikan. Jangan mewariskan kebiasaan tidak baik, saya yakin apa yg kita lakukan, anak juga merasakan, dia ikut berjuang. Maka ibu2 yang sedang berjuang, mari kita wariskan sikap yang baik. Ingat, kita sekarang ibu. Ada anak yang selalu meneladani apa yg kita lakukan.

Wednesday, 11 June 2014

Happiness - Mernissi

“Happiness, she would explain, was when a person felt good, light, creative, content, loving and loved, and free. An unhappy person felt as if there were barriers crushing her desires and the talents she had inside. A happy woman was one who could exercise all kinds of rights, from the right to move to the right to create, compete, and challenge, and at the same time could be loved for doing so. Part of happiness was to be loved by a man who enjoyed your strength and was proud of your talents. Happiness was also about the right to privacy, the right to retreat from the company of others and plunge into contemplative solitude. Or sit by yourself doing nothing for a whole day, and not give excuses or feel guilty about it either. Happiness was to be with loved ones, and yet still feel that you existed as a separate being, that ou were not just there to make them happy. Happiness was when there was a balance between what you gave and what you took.”  ― Fatema Mernissi, Dreams Of Trespass: Tales Of A Harem Girlhood