Thursday 27 December 2007

Banjir

Ngambil-ambil, 26 Desember 2007

Pagi itu, saya terbangun seperti biasa, tidak ada yang spesial, hanya pagi itu hari hujan, bukan gerimis, tapi tidak pula hujan deras. Karena hari sebelumnya adalah libur natal, maka hari itu saya berangkat dari rumah nguter. Biasanya saya naik bis pagi-pagi ke solo karena harus segera berangkat ke RS. Tapi karena hujan, ibu menyarankan untuk bawa mobil saja. Awalnya, kupikir, saya akan bawa mobil bapak saja karena mobil bapak ada di posisi paling depan. Tapi karena jalan di depan rumah kami banjir, airnya tinggi menggenang, sekitar lutut mungkin, maka ibu menyarankan untuk bawa kijang saja. Thanks God and Ibu for that.

Ternyata banjir gak cuma di sekitar desa saja. Setelah melewati jalan depan rumah kami yang tergenang air, ternyata di daerah Songgorunggi, di utara desa kami, ada lagi genangan air kira-kira setinggi lutut juga yang menggenang di jalan. Saya setir pelan-pelan lagi, rpm tinggi, begitu pesan bapak saat kami mau berangkat. Di depan nampak mobil antri panjang. Tapi saya masih belum tau apa yg ada di depan. Saya pikir, paling genangan air lagi. Ternyata memang benar, the next episode. He3.. Tapiii..yang ini lebih dahsyat saya, menurut saya. Air gak cuma menggenangi jalan. Arusnya deras sekali. Dan air tu kayaknya kok kental sekali. Jadi ngeri kelihatannya. Beberapa motor macet. Ada juga yang sempat terpeleset dan menjerit karena arusnya yang deras melintasi jalan raya (karena saya mengerem! Maaf ya, mbak. Soalnya motor di depan saya tiba-tiba mandek.)

Setelah lewat jembatan kepuh, air sudah lebih surut, walaupun masih ada episode lain di utara jembatan kepuh, yang memang biasanya mengalami banjir kalo hujan. Saya pikir, "ah, iki wis biasa. Biasane banjir juga kok di sini yen hujan." Jalan raya yang saya lewati sempat bersih dari air walaupun di sebelah kanan dan kiri air menggenang tinggi, termasuk juga di SMP 4 kepuh yang tempatnya di tepi jalan raya. Rasanya wis agak lega.

Di sebelah selatan terminal sukoharjo, air juga menggenang sampai ke jalan raya. Di satu bagian yang di tepi jalan adalah sawah, arus mengalir cukup deras juga. Tapi ini tetap gak sedahsyat di kepuh.

Setelah masuk kota, lega rasanya, soalnya bersih dari air. Gak ada genangan air. Kupikir, ke utara lagi, pastinya bersih lah yaa.. Wong jalannya gede, lapang lagi (Ta pikir2, ada hubungannya po? Ha3..) Ya, maksudku, wong jalannya lapang, mosok air mau menggenang di jalan raya. Eh, ternyata.. di daerah telukan, sekitar garasi bis Gunung Mulya, episode berikutnya (walah, kok masih bersambung!). Kata orang2 yang berpapasan dengan kami, air setinggi dada (nantinya, saya tau kalau itu agak berlebihan). Katanya, ada bis yang kebawa arus. Bah, gimana gak deg2an coba. Aku cuma berdua dengan cici, adikku. Walah piye ki, begitu pikirku. Orang-orang yang ada di tepi jalan menyarankan supaya kami balik saja. Haaah?? Baliiik?? Yang benar saja. Membayangkan jalan yang sebelumnya kami lewati, walah, yo nanggung banget. Akhirnya, nekat lah.. Beberapa mobil di depan kami sudah muter balik, katanya lewat jalan alternatif, ParangJoro, begitu kata bapak2 yang bawa mobil di depan kami. Saya akhirnya nekat lewat. Memang ngeri kelihatannya. Karena jalannya lapang, dan di kanan kiri ada sungai+sawah, jadi hamparan air terlihat begitu luas. Arusnya agak deras, tapi menurut saya, masih lebih deras yang di daerah Kepuh. Apalagi dibumbui dengan cerita kanan-kiri. He3.. Begitu lewat, legalah.. walaupun masih lewat 1 episode kecil lagi di daerah Cluringan, tapi gak seberapa.

Setelah lewat Solobaru, lega rasanya.. Solo Baru+Solo lebih bersih. Gak ada genangan air, walaupun di gang-gang kecil air setinggi dada.. Jadi, hari itu, Nguter-Solo kami tempuh selama 2 jam. Bonus deg-degan. He3.. Cukup sekali saja ya, gak mau lagi..

Thursday 6 December 2007

John Nash and Me

... Johny takes out a chess set, and father and son sit down to play. Nash is “less than mediocre”. At one point, he wants to take back a bad move, Johny lets him. Then Nash wants to take back another.
“Dad, if you keep doing that, you’ll win,” says Johny.
“But when I play against the computer, I’m allowed to take back moves,” Nash says.
“But, Dad,” protests Johny, “I’m not a computer! I’m a human being!”

Reawakening. In: A Beautiful Mind. The Life of Mathematical Genius and Nobel Laureate John Nash: 476-7.


Saya merasa “kena” sekali saat membaca satu bagian kecil dari biografi John Forbes Nash yang tebal dan tulisannya, buseet, kecil dan rapat sekali. Ya, seringkali kita merasa sudah salah dalam mengambil suatu keputusan, yang kemudian membuat kita berandai-andai kita bisa mengulang waktu itu, dan mengganti langkah yang telah kita ambil. Sering kita ingin meng’undo’ langkah yang sudah kita ambil. Dasar generasi komputer! Kepribadiannya kayak komputer. Hahahaa.. Tapi, gak mungkin tentunya. Bayangkan kalau semua orang meng’undo’ langkahnya. Yang jelas itu tidak hanya akan terjadi sekali. Karena manusia tidak akan pernah puas. Selalu saja merasa ada yang kurang ataupun salah. Yang penting adalah bagaimana kita bertanggung jawab dengan keputusan yang sudah kita ambil. Karena tentunya keputusan itu sudah kita pikirkan baik-baik apa baik buruknya. Bukan begitu? Karena apapun yang sudah kita putuskan itu, akan membawa banyak kemungkinan-kemungkinan baru yang bisa terjadi..


..waktu memiliki tiga dimensi, seperti ruang. Dan karena satu benda bisa bergerak tegak lurus ke tiga arah, horisontal, vertikal, dan membujur, maka sebuah benda dapat berada dalam tiga masa depan yang saling tegak lurus..
..Beberapa orang memandang enteng pada keputusan-keputusan, mengatakan bahwa semua kemungkinan dari keputusan-keputusan itu akan terjadi. Sementara yang lain bersikukuh bahwa tiap keputusan harus dipertimbangkan masak-masak dan dilaksanakan, sebab tanpa rasa tanggung jawab akan terjadi kekacauan. Orang-orang ini puas menjalani kehidupan di dunia yang saling bertentangan, sepanjang mereka memahami alasan masing-masing.

Alan Lightman, Mimpi-Mimpi Einstein.

Tuesday 9 October 2007

Air

Hidup ini seringkali terasa sangat susah..
Satu sisi kita ingin sekali untuk hidup bahagia, tapi di sisi lain, kita seringkali punya idealisme tertentu dalam suatu hal
Wajarlah saya pikir. Semua orang tentunya ingin hal yang bisa memberinya kebahagiaan dan merupakan hal yang terbaik.
Saat kita menemui apa yang jadi idealisme kita, kita merasa, "that's it!". Rasanya menemukan harta karun yang sudah kita cari selama ini. Tapii..kita tidak selalu bisa memiliki "harta karun" itu. Karena kita tidak pernah bisa mendekatkan apa yang Tuhan jauhkan dari kita.
Tidak jarang saya merasa seperti itu. And that's what i feel nowadays..

Suatu waktu saat saya benar-benar jenuh dengan hidup yang saya pikir tidak memberikan apa yang saya inginkan, saya teringat sesuatu tentang air.. Saya teringat suatu acara televisi menampilkan bintang tamu si penulis terkenal, Dee, sharing tentang filsafat hidup yang ia anut, yaitu filsafat air. Jangan heran kenapa saya tiba-tiba teringat. Memang ga jarang, ide pikiran saya melompat dari satu gagasan ke gagasan lain yang nampaknya jauuuh sekali, saya kadang memang mengalami flight of ideas.. Dan kebetulan saat itu, saya "menemukan" buku di kamar adik saya, judulnya, Mimpi Anak Menjadi Naga. Kupikir, pintar sekali si pengarang bikin judul, begitu eye-catching.. Dan kebetulan, salah satu babnya berisi tentang filosofi air.. Jadilah klop sekali. Isinya kira-kira begini.. Air itu memberikan pelajaran yang sangat bagus pada kita, kurang lebih ada 3 sifat air yang bisa kita jadikan pelajaran. Nurturing, flexible, dan firm. Air itu mengasuh tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia supaya bisa tetap hidup, bahkan tumbuh dan berkembang. Jadinya intinya, air memberi manfaat pada makhluk di sekitarnya. Lalu, flexible, air bisa menyesuaikan dengan wadah dimana ia ditempatkan. Tapi bukan berarti tidak punya pendirian tentunya. Karena air punya sifat yang ketiga, yaitu firm, yaitu tegas, tapi bukan berarti keras.

Saya juga mengidentifikasikan kehidupan dengan aliran air. Terbayang aliran air jernih yang gemericik menuruni pegunungan. Begitulah saya analogkan hidup kita ini. Karena hidup memang terus berjalan, terus mengalir walau apapun yang kita alami atau kita rasakan. Kadang-kadang di tengah alirannya, ada batu-batuan. Tapi air tetaplah mengalir. Dan memang begitulah hidup, pastilah dalam hidup ini kita menemui masalah-masalah, entah kecil atau besar. Tapi hidup haruslah tetap berjalan. Kita hanya mengikuti alirannya, walaupun bukan berarti pula pasrah bongkokan.. Karena sebagai manusia, tentunya kita wajib berusaha, dan tentang hasilnya, hanya Tuhan yang Maha Tahu..

Saturday 6 October 2007

Tintin



An adolescent with no known family, Tintin is a reporter by trade. In fact he is an adventurer as much as a detective. Although he is available, he is not looking for adventures, they come to him, just by chance.Courageous, he never hesitates to confront with the forces of evil, protecting the weak, the minorities and the oppressed. Ingenious, reasonable and reasoning, with all his modesty and practical sense, he is the antithesis of the super-hero.

“Tintin is probably the strangest character in the history of the strip cartoon. Unlike the majority of cartoon heroes, he has no particularly remarkable characteristic. True, he is intelligent, astute, quick-witted and almost invincible.. But when one examines him more closely, it is his unreality which is most startling.Take the name for a start. In neither French nor English does it mean anything. Is it a first name or a surname?Next look at his round face with only little dots for eyes and mouth and a small button of a nose. The only distinctive feature is the celebrated quiff.

Then there is his profession, one which except in the very first book we never see him exercise. Tintin is not a typical reporter.He has no real age; sometimes he seems to be a child, at other times an adolescent, but generally he behaves like an adult.. His sexlessness is also noteworthy. At no time does he have a girlfriend, or do marriage plans interfere with his adventures.Strictly speaking, he is characterless. This could be seen as a weakness, but that would be a basic misunderstanding of the great coherence of Hergé’s world. In fact this is the neutrality of the hero which is the key element of the books’ success.

It is this lack of personality which enables him to change from having been a colonialist in 1930 to taking sides with guerillas in 1975 without any feeling of contradiction.As a neutral character he fulfills marvelously the essential role of a hero of a cartoon series, allowing readers scope for identification. This enable anyone, whether boy or girl, young or old, French or Japanese, the chance to live the extraordinary adventures of Hergé’s books.And around his neutral hero, Hergé could over the years add a whole collection of richly coloured, often type cast characters. In this way the series of adventures could be enriched, gaining variety and intensity while, thanks to Tintin, retaining that immediacy which makes them so very readable. ”


From TINTIN and the World of Hergé, Benoît Peeters, Pub. Little, Brown and Company

http://www.tintin.com/uk/perso_fr/tinti_fr.html

Friday 5 October 2007

Saat-saat sadar

Ilahi, setiap kali,
bila kurenungkan kemurahanMu
yang begitu sederhana, mendalam
akupun tergugu
dan membulatkan sembahku padaMu

(Emile Verhaeren)